Anna
Nirwana - Pada 13 Oktober lalu, saya dan teman-teman blogger
yang ada di Malang, nonton bareng film ‘Wonderfull Life”. Sebuah film yang
menurut saya mengisahkan perjuangan
Amalia, seorang ibu dalam menyembuhkan penyakit “ Disleksia” yang
diderita Aqil anaknya. Disleksia adalah gangguan dalam perkembangan baca tulis
yang umumnya terjadi pada anak usia 7-8 tahun.
Sosok ibu diperankan oleh Atiqah Hasiholan sedang Sinyo
berperan sebagai anaknya. Dalam perjuangannya mengobati penyakit Aqil, Amalia
rela menempuh jarak bermil-mil. Dari satu kota ke kota lainnya. Dari terapis
satu ke terapis lainnya, bahkan ke dukun yang dalam film itu disebut datuk, pun ia coba
datangi.
Dalam satu adegan, diceritakan
sang datuk menyuruh Amalia mengganti
bajunya dengan sehelai kain “ jarik”. Amalia
sempat protes dengan mengatakan, bahwa yang berobat itu anaknya. Tapi jawaban
sang datuk membuat Amalia tak berdaya. Demi kesembuhan anaknya, ia mau menuruti
perintah datuk itu. Tapi sebelum ia mengenakan kain jarik tersebut, Amalia
mengamati sekitarnya. Sampai pada ia membuka kain yang dipasang di sebuah
jendela. Tak sengaja, ia melihat seorang wanita dalam keadaan perut buncit
berada di sana.
Seketika Amalia tersadar,
bahwa dirinya sedang dalam bahaya. Segera ia mengambil langkah 1000 untuk kabur dari rumah itu dengan mengajak
Aqil pula, meski pun di awal anaknya berontak. Mereka berlari di jalan setapak
yang medannya cukup berat, karena masih
berupa tanah yang di sela-selanya
terjulur akar pepohonan.
Berada di sebuah gubuk
yang berada di tengah-tengah alas, jauh dari rumah warga. Harus menyeberangi sungai untuk bisa
mencapainya ditempuh Amalia hanya untuk sebuah kesembuhan bagi anaknya. Ini
menggambarkan betapa kerasnya niat seorang ibu dalam berjuang hanya demi
seorang anak, sehingga ia rela melakukan apa saja dan mengorbankan apa saja. Di sini, Amalia rela mengorbankan pekerjaan di
kantor padahal ia menduduki posisi yang strategis.
Setelah terhindar dari
bahaya sang datuk, Amalia dan Aqil
terpaksa menginap di pinggir sungai ditemani dua orang pemilik sampan yang
digunakan untuk menyeberang siang harinya. Mereka duduk berdua melihat
bintang. Terjadi dialog kecil antara
Amalia dan Aqil. Keesokan harinya mereka
melanjutkan perjalanan lagi. Sampai di sebuah pasar, Amalia ijin keluar membeli
sesuatu dan menyuruh Aqil diam di dalam mobil. Sekembalinya, Amalia tak
mendapati anaknya di mobil. Ia pun bingung dan histeris menanyakan kepada
orang-orang yang ada di situ. Saat itulah, Amalia tersadar, bahwa ia sudah
keliru memperlakukan anaknya selama ini. Ia dihinggapi rasa takut kehilangan.
Ia sadar selama ini selalu memaksakan kehendak
terhadap anaknya. Ia mematok nilai tinggi terhadap Aqil dalam pendidikannya.
Dan ketika ia tahu, bahwa anakya menderita Disleksia, ia berusaha mati-matian
menyembuhkannya. Sampai ia lupa, cara yang ia tempuh bukan pada jalurnya.
Keinginannya terhadap pendidikan anaknya yang terkendala, membuatnya lupa
dengan nilai lebih yang dimiliki anaknya, yaitu menggambar. Ia sadar, ketika
orang lain memuji kepintaran Aqil dalam menggambar, bahkan Aqil diberi
kesempatan untuk menggambar di seluruh dinding di sebuah warnet yang dikunjungi
Amalia saat itu.
Sikap Amalia terhadap
Aqil tak lepas dari perlakuan sang bapak terhadapnya, yaitu mematok nilai
tinggi. Sehingga Amalia pun tumbuh sebagai seorang penuntut, bahkan terhadap
anaknya sendiri. Dan ketika ia menyadari sikap itu keliru, ia pun berubah.
Tidak peduli dengan anggapan sang bapak terhadapnya. Ia memutuskan akan
melakukan apa yang terbaik buatnya juga buat Aqil anaknya. Ia tahu, bahwa “setiap anak terlahir sempurna”.
Di sini, pesan moral
yang saya tangkap adalah sebagai orang tua, kita sering bersikap arogan
terhadap anak kita. Kita ingin anak kita menjadi seperti apa yang kita mau.
Padahal, seorang anak memiliki kehidupannya sendiri. Mereka punya dunia
sendiri. Kita sebagai orang tua, hanya bertugas membimbing dan mengarahkan
kepada hal-hal baik dengan cara yang sesuai karakter anak. Sebab, kalau kita
terus - menerus memaksakan kehendak pada anak, bisa jadi anak akan mengalami
hal-hal yang tidak kita inginkan. Sepeti yang dialami saudara Amalia dalam film
ini, meninggal karena tertekan sikap sang bapak.
Setelah memahami
kekeliruannya, Amalia meluahkan perhatian dan waktunya untuk Aqil. Memberikan
keleluasan pada anaknya untuk menggambar. Bahkan memberikan salah satu dinding rumahnya
untuk media Aqil menggambar.
Bicara tentang anak,
mungkin kita pernah dengar tentang Kahlil Gibran, seorang seniman, penyair dan
penulis yang terlahir di Lebanon, namun menghabiskan waktunya lebih banyak di
Amerika. Dalam sebuah karya termashurnya, Kahlil Gibran menulis :
ANAK-ANAKMU
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.
Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana
kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.